Tabloidbnn.info | Aceh Tamiang – November 2025 – Di pesisir Kuala Genting, Kecamatan Bendahara, Aceh Tamiang, aroma asin laut kini tersaingi oleh bau tanah dan solar.
Ratusan hektare hutan bakau yang dulunya berfungsi sebagai benteng alami kini telah beralih rupa menjadi hamparan perkebunan sawit muda. Jejak rantai ekskavator masih terlihat jelas di tanah berlumpur, sisa dari perambahan liar yang diduga berlangsung sejak awal tahun 2023.
Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembAHtari) mengecam keras peristiwa ini, menilai proses hukum di tingkat daerah berjalan lamban dan tumpul.
“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, ini adalah kejahatan lingkungan yang terorganisir,” tegas Sayed Zainal M., SH, Direktur LembAHtari, saat ditemui di Kualasimpang.
Dalam ekspos kasus yang digelar Polres Aceh Tamiang pada 28 Oktober 2025, penyidik hanya menetapkan satu tersangka berinisial I, yaitu pemilik alat berat yang ditemukan rusak di lokasi perambahan pada 19 Agustus 2025.
Ironisnya, hasil penyelidikan awal hanya menyebutkan area yang dirambah seluas 344,7 hektare dan dinilai tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa sebagian lahan tersebut masuk dalam kawasan Hutan Lindung (HL) dan Hutan Produksi (HP).
Padahal, menurut temuan lapangan LembAHtari, pada hari yang sama tim mereka telah menyerahkan berkas Kelompok Tani (Poktan) “BB” kepada penyidik. Berkas tersebut diduga berisi nama-nama pelaku utama pembabatan hutan bakau menjadi kebun kelapa sawit di Alur Cina, Dusun Ujung Baru, Kuala Genting.
“Publik berhak tahu, apakah nama-nama itu sudah diteruskan dalam bentuk Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) ke Kejaksaan Negeri Kuala Simpang atau belum,” desak Sayed Zainal, menuntut transparansi.
Kasus perambahan ini semakin menguat setelah Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) Garuda RI memasang plang larangan di dua titik lokasi pada 11 September 2025. Tim yang dipimpin Dankorwil PKH Garuda RI wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sulawesi Utara, bersama KPH Wilayah VII, bahkan menumbangkan sekitar 100 batang sawit muda sebagai simbol penegasan bahwa lahan tersebut merupakan kawasan hutan yang dirambah secara ilegal.
Namun, bagi LembAHtari, tindakan simbolik tersebut tidak sebanding dengan lamanya proses hukum di Kepolisian.
“Mustahil perambahan seluas ini tidak diketahui oleh aparat dan pihak KPH Wilayah VII sejak awal 2023. Kami menilai ada dugaan kelalaian atau pembiaran di tingkat daerah,” kritik Sayed Zainal tajam.
Kekecewaan terhadap kinerja aparat di daerah mendorong LembAHtari melangkah lebih jauh. Pada 25 September 2025, bersama jaringan Sumatera Environmental Initiative (SEI) dan Aceh Wetland Forum (AWF), serta difasilitasi Indonesian Ocean Justice Initiative (IOJI), LembAHtari secara resmi melaporkan kasus ini ke Bareskrim Mabes Polri dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) RI.
Langkah tersebut ditempuh untuk mengatasi dugaan kelalaian dan lemahnya pengawasan di tingkat daerah. “Kami mendesak agar kasus ini diambil alih oleh Polda Aceh, bahkan bila perlu dilakukan penyelidikan ulang di bawah koordinasi Mabes Polri dan Satgas Garuda RI di Kejaksaan Agung,” tambah Sayed Zainal.
Di tepian alur Kuala Genting, keterkejutan ekologis mulai terasa. Kawasan resapan air hilang, abrasi semakin cepat, dan tangkapan kepiting bakau oleh nelayan makin sulit didapat. Sementara proses hukum masih terkesan berjalan di tempat, hutan bakau yang menjadi benteng alami pesisir Aceh Tamiang terus menunggu hadirnya keadilan.












