Tabloidbnn.info. Pulau Wetar — Di saat pembangunan nasional dipuja-puji dengan berbagai bumbuh pencitraan, dan para pemimpin sibuk menebar janji di layar kaca, di sudut paling Timur Indonesia, warga Desa Eray di Pulau Wetar, Kabupaten Maluku Barat Daya, harus bertaruh nyawa setiap hari hanya untuk bisa pergi ke kebun dan mencari nafkah.
Desa ini dipisahkan oleh sungai tanpa jembatan permanen. Dan karena pemerintah tak kunjung hadir, warga membangun sendiri jembatan darurat dari kayu dan bambu, seadanya. Mereka menyatukan tenaga, mengumpulkan bahan apa adanya, dan bekerja tanpa alat berat atau insinyur. Bukan karena ingin, tapi karena terpaksa.
Setiap hujan turun, arus sungai naik dan menjadi ancaman nyata. Bukan hanya bagi hasil panen, tapi bagi nyawa. Anak-anak digendong, orang tua dibopong, dan barang-barang harus diseberangkan satu per satu. Di negara yang katanya sudah merdeka, warga Desa Eray masih harus memerdekakan diri dari keterasingan dan ketidakpedulian.
“Saya datang ke Desa Eray, kampung asal istri saya. Saya lihat sendiri bagaimana warga harus bertaruh nyawa setiap kali menyeberang sungai itu. Ini sangat menyedihkan. Padahal mereka hanya ingin hidup yang layak,” kata Amos Salkery, Sekretaris Cabang GMKI Tiakur, saat menyampaikan kesaksiannya pada media ini, Minggu (21/09/2025).
Janji di Masa Kampanye, Lenyap Saat Duduk di Kekuasaan
Yang membuat luka ini semakin dalam adalah kenyataan bahwa semua pemimpin mulai dari Presiden, Gubernur, Bupati, hingga para anggota DPR dan DPRD, selalu datang dengan janji saat kampanye. Mereka menyebut “pembangunan merata”, mereka bicara “kesejahteraan untuk seluruh rakyat Indonesia”, mereka berjanji “tak ada rakyat yang tertinggal”.
Tapi setelah duduk di kursi empuk kekuasaan, rakyat yang mana yang benar-benar mereka lihat?
Apakah ada klasifikasi “rakyat kelas satu” dan “rakyat kelas dua”?
Apakah rakyat Desa Eray dianggap pengecualian?
Desa Eray, Kabupaten MBD adalah bagian sah dari NKRI. Warganya ikut dalam pemilu, menyumbang suara, bahkan memberi dukungan kepada mereka yang kini duduk nyaman dalam kekuasaan. Tapi ketika rakyat membutuhkan jembatan sederhana untuk hidup, tak satu pun janji itu menjelma menjadi nyata.
Di tingkat nasional, ada Presiden Prabowo Subianto dari Partai Gerindra. Di DPR RI, Puan Maharani dari PDI Perjuangan memimpin lembaga tinggi negara yang katanya memperjuangkan wong cilik. Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa juga dari Partai Gerindra, dan Ketua DPRD Provinsi Maluku, Benhur Watubun, dari PDI Perjuangan.
Bupati MBD, Benyamin Thomas Noach, pun kader PDI Perjuangan, bersama Ketua DPRD MBD, Petrus A. Tunay. Semua adalah bagian dari partai-partai besar yang selalu mengangkat slogan pro-rakyat.
Namun rakyat di Desa Eray belum pernah merasakan keberpihakan itu.
“Kami juga rakyat Indonesia. Kami juga manusia yang ingin hidup selamat, ingin bekerja, ingin mengantar anak ke sekolah tanpa cemas dihanyutkan arus,” keluh seorang warga yang mengaku lelah berharap, namun tetap memupuk harapan demi masa depan anak-anak mereka.
Sebuah Panggilan Nurani
Ini bukan sekadar cerita duka dari pelosok. Ini adalah seruan kemanusiaan, panggilan nurani, dan cermin betapa masih timpangnya perhatian negara terhadap rakyat di pinggiran.
Jika rakyat harus membangun sendiri jembatan untuk hidup, maka kemerdekaan belum benar-benar sampai ke tanah mereka.
Jika negara hanya hadir lewat janji-janji kampanye yang lenyap setelah pemilu, maka demokrasi telah kehilangan makna sejatinya.
“Bapak Presiden, Ibu Ketua DPR RI, Gubernur Maluku, para anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten, lihatlah ke timur, bukalah mata dan hati. Jangan biarkan warga Desa Eray terus bertaruh nyawa hanya karena negara terlalu sibuk mengurus kota,” pinta Salkery.
Di akhir keterangannya, Amos Salkery turut menyampaikan harapan yang menyentuh:
“Saya hanya ingin pemimpin-pemimpin kita di Jakarta, di Ambon, hingga di Tiakur, melihat ini sebagai panggilan hati. Jangan biarkan rakyat terus bertarung nyawa hanya untuk hidup. Bangunlah jembatan ini, bukan hanya untuk mereka menyeberang, tapi untuk menyeberangkan kita semua menuju kemanusiaan yang adil dan beradab.” (Red)