Tabloidbnn.info | Balikpapan – Ferry Posuma, anak sulung dari pasangan Eddie Posuma dan Ketty Kwee, akhirnya buka suara menanggapi konflik keluarga yang berlarut-larut serta pemberitaan yang menyudutkannya.
Ia membantah keras tudingan sebagai “anak tidak berbakti” karena menggugat ayah kandungnya, menegaskan bahwa gugatan itu adalah upaya sah untuk mendapatkan hak dan keadilan atas properti keluarga.
Dalam konferensi pers yang digelar di Balikpapan Selatan pada Rabu (19/11/2025), Ferry didampingi ibunya, Ketty Kwee, serta tim kuasa hukum dari kantor hukum “Joe & Hutabarat”.
Konflik ini berpusat pada Kawasan Perumahan Mewah KBC III (terdiri dari 19 unit rumah dan 14 apartemen) yang dibeli oleh Ketty Kwee pada tahun 1963.
Karena statusnya sebagai Warga Negara Asing (WNA) saat itu, sertifikat kepemilikan ditempatkan atas nama suaminya, Eddie Posuma (WNI).
Meskipun telah bercerai pada tahun 1988, Ketty dan Eddie sepakat menghibahkan properti KBC III kepada keempat anak mereka, termasuk Ferry, pada 19 April 1990. Akta hibah ini menjadi dasar hukum kepemilikan bagi anak-anak.
”Kami menganggap keputusan hibah tersebut sebagai bentuk tanggung jawab orang tua. Namun, realitasnya justru jauh dari harapan,” ujar Ferry.
Masalah muncul ketika Eddie Posuma secara sepihak mengajukan permohonan penetapan penanggungan kepada Pengadilan Negeri Surabaya. Penetapan ini memberinya kewenangan penuh untuk mengelola kawasan KBC III, termasuk menyewakannya kepada pihak ketiga, salah satunya PT Schlumberger, bahkan diduga mengalihkan kuasa pengelolaan kepada perusahaannya sendiri, Firma Setia Kawan (FSK), pada tahun 1997.
”Semua dilakukan tanpa persetujuan kami sebagai ahli waris sah dari hibah,” tegas Ferry. Ia menambahkan bahwa selama puluhan tahun, ia dan ibunya tidak pernah menerima informasi, laporan, maupun bagian dari hasil sewa properti tersebut.
Merasa haknya diabaikan, Ferry Posuma menggugat Eddie Posuma dan PT Schlumberger pada tahun 2020 atas dugaan perbuatan melawan hukum (Perkara No. 144/Pdt.G/2020/PN Bpn).
Ferry memenangkan perkara ini hingga tingkat Peninjauan Kembali (PK). Putusan PK Nomor 1024 PK/Pdt/2024 menyatakan bahwa Eddie Posuma dan pihak terkait wajib membayar hak Ferry secara tanggung renteng. Putusan ini telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht).
Namun, alih-alih melaksanakan putusan yang inkracht, pihak Eddie Posuma justru mengajukan gugatan baru ke Pengadilan Negeri Balikpapan pada tahun 2025 (Perkara No. 118/Pdt.G/2025/PN Bpn).
”Jelas ini upaya untuk mengulur-ulur waktu dan menghindari kewajiban hukum yang sudah ditetapkan oleh pengadilan. Ini adalah strategi untuk mengaburkan putusan sebelumnya yang sudah inkracht,” kata Joko Ponconowo, S.H., M.H., salah satu kuasa hukum Ferry.
Ferry dan tim kuasa hukumnya juga menyatakan kekecewaan atas pemberitaan di media yang menyebut Ferry sebagai “anak durhaka,” menilai pemberitaan tersebut tidak berimbang dan merusak nama baik.
”Klien kami memperjuangkan hak yang sah secara hukum, bukan melawan orang tua tanpa alasan,” tegas Joko.
Ketty Kwee, yang turut hadir, tak kuasa menahan tangis dan meluapkan kekecewaannya. “Dia (Eddie) tahu semuanya milik saya. Tapi kenapa begini jadinya?” seru Ketty terisak, menggambarkan luka mendalam akibat konflik ini.
Meski demikian, Ferry Posuma dan tim hukumnya menyatakan pintu perdamaian tetap terbuka, asalkan semua pihak menghormati dan mematuhi putusan hukum yang sudah berkekuatan tetap.
”Kami tidak ingin memperpanjang permusuhan. Kami hanya ingin hak dipenuhi dan proses hukum dihormati,” pungkas Ferry.(Onnel)












