BUKAN SEKEDAR TAHUN BARU, MENGURAI SIMPUL POLITIK DIBALIK 1 MUHARRAM

  • Bagikan

Tabliodbnn.info. Bireuen.  – Tanggal 1 Muharram setiap tahunnya dirayakan oleh ummat Islam dengan penuh khidmat. Di berbagai pelosok Indonesia, perayaan Tahun Baru Hijriah kerap dihiasi dengan Pawai Obor, Zikir Bersama, dan berbagai Kegiatan Keagamaan yang meriah.
Namun, dibalik Seremonial itu, barangkali kita perlu bertanya secara jujur :
“Apakah esensi Hijrah Nabi Muhammad SAW telah benar-benar kita maknai secara mendalam dalam konteks kehidupan ummat hari ini ?”

Hijrah bukan sekadar peristiwa perpindahan fisik dari Makkah ke Madinah. Hijrah adalah langkah strategis peradaban.
Di Madinah, Rasulullah SAW tidak hanya membangun Komunitas, tetapi juga menata Sistem Sosial, Hukum, dan Politik yang berkeadilan. Hijrah adalah titik tolak lahirnya tatanan baru yang berporos pada nilai-nilai Tauhid, Keadilan, dan Persaudaraan Lintas Iman.

Karena itu, Umar bin Khattab RA menetapkan peristiwa Hijrah sebagai permulaan Kalender Islam—bukan kelahiran Nabi, bukan pula kenabiannya. Keputusan ini sarat makna :
Bahwa Ummat Islam tidak hanya diajak untuk menjadi baik secara spiritual, tetapi juga berdaya secara Sosial dan Strategis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Dimensi Politik Hijrah yang Terlupakan.
Sayangnya, dalam konteks kekinian, dimensi Perubahan Sosial-Politik dari Hijrah nyaris tak terdengar. Tahun Baru Hijriah lebih sering direduksi menjadi Perayaan Seremonial tahunan, tanpa menjelma menjadi Spirit Transformasi ummat. Padahal, justru di tengah problematika ummat yang semakin kompleks—Kemiskinan, Korupsi, Politik Transaksional, Ketimpangan Sosial—semangat hijrah mestinya menjadi sumber inspirasi perubahan yang lebih mendasar.

Umat Islam Indonesia, yang secara jumlah mayoritas, belum sepenuhnya memainkan peran strategis dalam membentuk arah bangsa. Keterlibatan politik umat kerap tersandera oleh Pragmatisme, Dominasi Oligarki, dan Retorika Identitas yang dangkal.
Padahal, semangat Hijrah seharusnya menggerakkan kita untuk menata ulang Sistem, membangun Etika Politik, dan mewujudkan Keadilan Sosial.

Pelajaran dari Tanah Syariat Aceh sebagai satu-satunya wilayah di Indonesia yang menerapkan syariat Islam memiliki tanggung jawab moral lebih besar dalam memaknai 1 Muharram. Tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa penerapan syariat di Aceh belum sepenuhnya membawa transformasi struktural sebagaimana semangat hijrah itu sendiri. Politik lokal masih berkutat pada kekuasaan, bukan pada pelayanan; pada simbol, bukan pada substansi.

Partai-partai Lokal dan Tokoh Agama seringkali terjebak dalam kompromi kepentingan, kehilangan keberanian untuk menyuarakan perubahan yang berpihak pada rakyat. Momentum tahun baru Hijriah semestinya dijadikan ruang evaluasi :
Apakah syariat yang ditegakkan sudah adil ?
Apakah Pemerintahan yang berjalan sudah mencerminkan nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin ?

Menghidupkan Ruh Hijrah dalam Demokrasi
Menjelang tahun-tahun politik yang akan datang, seperti Pilkada dan Pemilu, 1 Muharram bisa menjadi momen emas untuk membangun kesadaran kolektif umat. Spirit hijrah dapat dijadikan kompas moral dalam memilih pemimpin dan merumuskan agenda politik. Pemimpin yang berhijrah bukan yang pandai berslogan religius, melainkan yang berani meninggalkan praktik lama yang kotor menuju Tata Kelola yang Bersih dan Amanah.

Kita membutuhkan politik yang lebih profetik—yakni politik yang dibangun atas dasar kebenaran, keadilan, dan keberpihakan pada yang lemah. Inilah esensi hijrah yang sesungguhnya: berpindah dari kegelapan menuju cahaya, dari stagnasi menuju perubahan, dari simbol menuju nilai.

Ulama, Cendekiawan, dan Ormas Islam juga harus mengambil peran lebih aktif. Bukan hanya sebagai Pengingat Moral, tetapi juga sebagai Penentu Arah dan Pembimbing Ummat dalam merespons tantangan zaman. Ruang-ruang Dakwah harus diperluas ke dalam ranah kebijakan publik, media massa, dan parlemen—agar nilai Islam tidak hanya menjadi narasi mimbar, tetapi juga menjadi etika kekuasaan.

Menutup Tahun, Membuka Kesadaran Tahun baru Hijriah bukan hanya soal mengganti kalender. Ia adalah undangan spiritual dan sosial untuk berhijrah: dari pasif menjadi aktif, dari diam menjadi terlibat, dari simbolik menjadi substansial. Kita perlu memastikan bahwa perayaan 1 Muharram tidak berakhir pada ritual, tetapi melahirkan kesadaran kolektif untuk memperbaiki diri, masyarakat, dan bangsa.

Mari jadikan 1 Muharram sebagai ruang kontemplasi yang produktif. Mari peringati hijrah bukan dengan melarikan diri dari realitas, tetapi dengan keberanian menatanya. Dan mari kita warisi semangat Rasulullah SAW bukan dalam bentuk seremoni, tetapi dalam bentuk strategi, keberanian, dan visi besar membangun peradaban Islam yang bermartabat.(**)
Oleh Mismaruddin Sofyan

Penulis: MuzakkirEditor: Adri Rumbou
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *