Putranya, Haikal Attamami, menyamp ikan kabar duka itu dengan tenang, nyaris seperti lagu-lagu ayahnya. “Beliau wafat dengan tenang di rumah. Kami masih membahas rencana pemakaman,” ujar Haikal.
HAMDAN dilahirkan di Kepulauan Aru, Maluku, pada 27 Januari 1949. Dari kampung kecil di timur Indonesia itu, suara emasnya merambat perlahan ke pusat industri musik nasional. Masa remajanya dipengaruhi grup musik instrumental Inggris, The Shadows —pengaruh yang kelak membentuk gaya musikalnya yang tenang, bersih, dan berjiwa.
Ia mulai dikenal publik saat bergabung dengan grup “Nada Buana” pada akhir 1960-an, tampil rutin di TVRI, lalu merampungkan pendidikan tinggi pada 1975. Setahun setelahnya, ia memilih jalan penuh risiko: total menjadi penyanyi dangdut. Sebuah keputusan yang membuahkan sejarah.
Tahun 1980, lagu “Termiskin di Dunia” meledak. Lagu ini bukan hanya hit, tapi semacam cap identitas musikal Hamdan. Ia penyanyi dangdut yang tidak sekadar bernyanyi, melainkan membawa emosi dengan jujur, dalam, dan tanpa berlebihan.
“Patah Kemudi”, “Dingin”, “Bekas Pacar”, hingga “Mabuk Judi” adalah lagu-lagu yang menjadikan Hamdan ATT sebagai ikon dangdut klasik.
Liriknya tak muluk. Musiknya sederhana. Tapi kekuatannya justru pada ketulusan dan kedalaman rasa.
Dalam satu panggung, ia tidak menari atau berdandan glamor. Hamdan lebih sering berdiri diam, matanya tertutup, tangan menggenggam mikrofon erat—seakan sedang berdoa, bukan bernyanyi.
Baginya, lagu adalah perpanjangan dari jiwa. “Ia bukan hanya penyanyi. Ia penyampai perasaan. Suaranya menenangkan, seperti air sungai di pagi hari,” ujar musisi senior Yon Koeswoyo dalam sebuah wawancara pada 2018.
Pada 2021, dunia musik memberi penghargaan yang layak kepada Hamdan ATT. Ia menerima “Lifetime Achievement Award” dari Indonesian Dangdut Awards.
Penghargaan itu diterima dalam kondisi fisik yang sudah sangat lemah. Ia duduk di kursi roda, tapi senyumnya tetap hangat.
Sejak2017,Hamdan mengalami stroke berat. Ia sempat dirawat di ICU RS Polri Kramat Jati. Kesehatannya naik-turun. Kadang bisa berbicara, kadang tidak. Tapi ia tetap berjuang—berobat, terapi, dan sesekali menyanyi di ruang tamu rumahnya. Seperti seorang tentara yang tak mau meletakkan senjata, bahkan saat perang telah usai.“Sempat pulih dan bisa bicara sedikit. Tapi tahun 2021 mulai menurun lagi. Beliau tetap semangat berobat,” tutur Haikal.
(R. Ahdiyat)