Tabloidbnn.info. Palangkaraya, Brigadir Anton Kurniawan Stiyanto (AKS), oknum polisi yang menembak mati seorang sopir ekspedisi di Kalimantan Tengah divonis hukuman penjara seumur hidup.
Tak hanya melakukan pembunuhan dengan cara menembak, Anton juga diketahui menggunakan narkotika jenis sabu saat menjalankan aksi kejamnya tersebut, serta mencuri mobil milik korban yang berasal dari Banjarmasin.
Adapun sidang putusan terhadap brigadir Anton digelar di Pengadilan Negeri Palangka Raya pada Senin 19 Mei 2025.
Dalam sidang itu, majelis hakim memvonis Anton dengan hukuman penjara seumur hidup, sesuai tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang telah disampaikan dalam persidangan sebelumnya.
Ketua Majelis Hakim M Ramdes menyatakan bahwa, Anton terbukti secara sah dan bersalah telah melakukan tindak pidana pembunuhan dan pencurian dengan kekerasan. Pemberatan yang mengakibatkan kematian, serta turut menyembunyikan kematian korban.
Hakim telah menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Anton, dengan pidana penjara seumur hidup, menetapkan terdakwa tetap berada ditahan, ujar Ramdes.
Usai pembacaan putusan penasihat hukum Anton, Suriansyah Halim, menyatakan masih mempertimbangkan langkah hukum berikutnya, Artinya kami mempelajari lagi isi putusan ini, apakah akan menerima atau tidak, mungkin kami akan mengambil upaya hukum kedepan kata Halim.
Majelis hakim (MK) memberikan waktu tujuh hari kedepan, bagi pihak terdakwa untuk mempertimbangkan keputusan tersebut, sebelum memutuskan untuk banding atau tidak ungkap ramdes
Halim menyebut bahwa pihaknya keberatan dengan vonis seumur hidup yang dijatuhkan majelis hakim, terutama karena putusan tersebut mempertimbangkan kronologi versi terdakwa kedua M Haryono.
Kedua, kami tidak sepakat masalah vonis ini, pada pokoknya Anton mengaku dia melakukan penembakan, tetapi dari fakta persidangan, hukum seumur hidup itu terlalu berat papar Halim.
Ia menambahkan bahwa, putusan tersebut sangat berdampak bagi kehidupan keluarga Anton yang memiliki seorang istri dan dua anak kecil
Dikesempatan lain, lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyoroti tuntutan 15 tahun penjara yang dijatuhkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada tersangka Haryono, seorang sopir taksi yang menjadi Justice Collaborator (JC) dalam kasus polisi tembak warga di Kalteng lalu.
Tuntutan itu dibacakan dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Palangka Raya, Rabu 14 mei 2025.
Wakil Ketua LPSK Sri Nurherwati menyayangkan, tuntutan berat jaksa terhadap M Haryono, yang dinilai tidak mempertimbangkan peran dan keberaniannya sebagai JC.
Tuntutan terhadap M Haryono, juga dapat berdampak terhadap keberanian masyarakat dalam bekerja sama dengan aparat penegak hukum, dalam mengungkap suatu tindak pidana kata Sri.
Sebelumny pada 29 April 2025, LPSK mengirimkan Rekomendasi Pemberian Hak Sebagai JC untuk MH kepada JPU, dalam perkara nomor: 50/Pid.B/2025/PN Plk, yang ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Kalteng dan Kepala Kejaksaan Negeri Palangka Raya.
Sri menjelaskan bahwa rekomendasi tersebut, mencakup permintaan pemberian keringanan tuntutan pidana, sebagai bentuk penghargaan atas kesaksian dan kontribusi MH, dalam mengungkap kasus secara terang dan jelas.
Rekomendasi dikirimkan pada jaksa, terkait dengan kedudukan MH selaku JC, untuk memperoleh penghargaan berupa keringanan penjatuhan pidana, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya kepada hakim jelas Sri
LPSK menilai bahwa MH bukan pelaku utama dalam kasus pembunuhan tersebut, dan dia tidak memiliki niat atau motif untuk mencuri atau membunuh korban, dan berperan karena tekanan fisik dan psikologis dari pelaku utama yakni Brigadir Anton Kurniawan Stiyanto (AKS).
Brigadir AKS merupakan anggota polisi aktif bersenjata, yang memiliki peran dominan dalam tindak pidana, termasuk dalam pembuangan jasad korban dan upaya menghilangkan barang bukti (barbuk) dan MH juga mempunyai iktikad baik, untuk memberikan keterangan yang dapat membantu para penegak hukum mengungkap perkara itu.
Dalam sidang, MH didakwa dengan Pasal 365 ayat (4) KUHP, tentang pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan kematian, serta Pasal 181 KUHP tentang penghilangan barang bukti, dan dikaitkan dengan Pasal 55 KUHP terkait turut serta secara sadar.
Sri menilai bahwa jika JC seperti MH tetap dijatuhi tuntutan berat, maka akan menjadi preseden buruk yang bisa menghambat kemauan saksi lain, untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum.
LPSK juga berharap majelis hakim dapat mempertimbangkan fakta-fakta yang ada di persidangan, termasuk kondisi psikologis MH dan iktikad baiknya untuk membantu pengungkapan perkara.
Dalam sidang lanjutan, LPSK berharap majelis hakim dapat mempertimbangkan fakta-fakta yang menunjukkan bahwa MH bertindak dalam tekanan dan ketakutan, serta telah menunjukkan iktikad baik dengan menjadi JC, tutup Sri Nurherwati.